Meraba Kenyataan Prostitusi di Tiongkok
Updated: Apr 29, 2020
Oleh : Hendy Yuniarto

Ilustrasi
“许多男人都要追求一个人们认为是水性扬花的女人,时间可长达几个月,钱要花去三四千”
banyak lelaki mengejar perempuan anggun nan mempesona berbulan-bulan lamanya serta menghabiskan banyak uang (Li Yu Tang dalam Prostitute and Concubine)
Kertas seukuran kartu nama berwarna mencolok tersebar berserakan di lantai kamar hotel kelas melati di pinggiran Beijing. Bergambar foto perempuan seksi dengan nomor hape untuk menarik perhatian lelaki pada layanan sex panggilan. Kartu iklan yang berserakan menunjukkan manajemen hotel yang berantakan, namun pihak hotel mengaku seringkali tak dapat menangkap orang yang menyebarkannya. Pernah pada suatu razia besar-besaran tahun 2011, polisi pemerintah Beijing menyita lebih dari 60.000 kartu panggilan.
Walaupun tidak banyak diekspos media namun kehadiran kegiatan prostitusi di Tiongkok sangat nyata. Mereka dapat ditemukan di salon, panti pijat atau spa, karaoke, bar, dan berbagai tempat dan modus lainnya. Bagaimanapun kegiatan prostitusi yang selalu dianggap sebagi salah satu profesi tertua di dunia tidak pernah habis dibahas. Setiap tempat, waktu, modus, dan latar belakangnya menarik untuk diketahui.
Kegiatan prostitusi adalah ilegal di Tiongkok daratan, akan tetapi pemerintah Tiongkok nampaknya selalu bimbang dalam perlakuan hukumnya terhadap para WTS. Walaupun prostitusi menjadi hal yang ilegal dan tabu di Tiongkok, tetapi “kartu layanan” pekerja seks tersebar di jalan-jalan di kota besar atau berserakan di meja, bawah pintu, dan tempat tidur di hotel melati. Prostitusi juga dikaitkan dengan sejumlah masalah, termasuk kejahatan terorganisir, korupsi pemerintah, kemunafikan, dan penyakit menular seksual. Seorang pejabat partai dicopot dari jabatannya setelah ia ditangkap di sebuah kamar hotel dengan seorang pelacur. Sangat wajar jika prostitusi juga terkait dengan korupsi para pejabat dan menjadi cara untuk melicinkan roda bisnis para pengusaha.
Dalam sejarah Tiongkok kuno prostitusi bukanlah sebuah profesi yang dianggap negatif seperti sekarang. Perempuan yang bekerja di bidang ini justru dikagumi karena pesona dan keterampilannya memberikan kesenangan melalui permainan musik, nyanyian, tarian, dan puisi. Karakter Hanzi untuk prostitusi yaitu 妓 (jì) pada awalnya tidak tidak banyak berhubungan dengan seks, namun lebih sebagai seorang perempuan yang menampilkan kesenian tari atau musik. Pada Dinasti Tang (618-905 M) dan Song (960-1279 M) rumah bordil dikelola oleh pemerintah karena perannya yang penting.
Pada dinasti Tang industri prostitusi berkembang karena direstui oleh pemerintah dengan pendirian jiaofang (教 坊) yang secara harfiah berarti tempat pelatihan, namun dalam konteks untuk anak perempuan. Mereka dilatih memainkan alat musik, menari, menyanyi, sastra, kaligrafi, dan sejumlah hiburan kelas atas lainnya seperti catur dan etika minum. Institusi jiaofang berlangsung beberapa abad sampai pertengahan Dinasti Qing (1616-1911). Para pelacur yang dilatih adalah pelacur resmi dan menyediakan hiburan bagi para pejabat dan cendekiawan. Seorang pejabat, pedagang, bahkan sastrawan terkemuka biasanya meninggalkan istrinya di rumah ketika bepergian. Ia menginginkan ditemani oleh perempuan-perempuan tersebut di rumah bordil.
Su Xiaoxiao (苏小小) pada dinasti Qi Selatan, Li Shishi (李师师) pada dinasti Song, Chen Yuanyuan (陈圆圆) pada dinasti Ming, dan Liu Rushi (柳如是) pada dinasti Qing merupakan pelacur ternama dalam sejarah kuno Tiongkok dan semuanya pandai dalam musik, tari, dan puisi. Salah satu buku kompilasi puisi dinasti Tang mengungkap pengaruh pelacur dalam budaya masyarakatnya. Dari 49.000 puisi, lebih dari 4.000 terkait dengan pelacur dan 136 ditulis oleh sang pelacur sendiri.
Setelah proklamasi RRT pada tahun 1949, otoritas pemerintah daerah ditugasi untuk menghapus prostitusi. Satu bulan setelah pengambilalihan kekuasaan di Beijing, pemerintah mengumumkan kebijakan untuk mengendalikan banyak rumah pelacuran di kota itu. Pada bulan November sebanyak 224 rumah bordil ditutup, 1286 pelacur dan 434 pemilik ditangkap. Kegiatan prostitusi berkurang drastis selama hampir tiga dekade dan pemberantasan ini pada era Mao dibanggakan sebagai salah satu pencapaian utama pemerintah dan bukti pelaksanaan ideologi Marxisme Tiongkok berjalan dengan baik.
Setelah kebijakan pintu terbuka berjalan, meskipun masih dilabeli ilegal, namun pada praktinya prostitusi semakin terlihat jelas dan meluas. Menurut WHO, pada tahun 2010 Tiongkok memiliki sekitar 4 juta hingga 6 juta pekerja seks. Memang kebanyakan dari mereka tidak bermaksud bekerja sebagai WTS, namun mereka adalah korban yang dijual dan dipaksa. Seringkali mereka datang ke kota-kota dari pedesaan dengan janji pekerjaan layak sebagai pelayan.
Mayoritas WTS terjun ke dunia prostiusi disebabkan karena kemiskinan, kurangnya mata pencaharian, ditinggalkan oleh suami, kehilangan pekerjaan, atau keluarganya jatuh sakit. Perempuan yang melayani pasar menengah ke bawah biasanya adalah perempuan pedesaan yang kurang berpendidikan dan tak punya keterampilan. Mereka menempati proporsi terbesar dari tenaga kerja sektor ini. Namun bagi sebagian WTS kalangan menengah ke atas, prostitusi merupakan pilihan dan gaya hidup. Terjun ke dunia prostitusi bagi mereka adalah jalan pintas meraup uang secara instan.
Lijia Zhang, seorang penulis novel Lotus yang menceritakan tentang dunia prostitusi di Shenzhen menyalahkan percepatan ekonomi Tiongkok atas fenomena ini karena dalam proses transisi dari ekonomi terencana ke ekonomi pasar perempuan menanggung terlalu banyak biaya hidup. Perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan karena kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan semakin melebar. Di dunia kerja perempuan sangat rentan mengalami diskriminasi dan di dalam rumah tangga juga rentan mengalami kekerasan.
Permintaan akan WTS semakin naik karena telah didorong ketidakseimbangan gender yang disebabkan oleh kebijakan satu anak yang ketat. Anak laki-laki lebih diinginkan daripada perempuan sehingga berdampak pada jumlah pria yang lebih banyak daripada wanita. Pada tahun 2019 terdapat lebih dari 30 juta laki-laki daripada perempuan. Profesor Pan Suiming, pakar gender dari universitas Renmin mengatakan bahwa bahwa pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 17 persen dari pria Tiongkok pada usia 18-61 akan mencoba mencari WTS pada suatu saat dalam kehidupan mereka.
Menurut kepolisian Tiongkok terdapat tujuh kategori kegiatan prostitusi. Kategori pertama adalah baoernai (包二奶) yang mana perempuan bertindak sebagai istri kedua pria dengan materi dan posisi berpengaruh, termasuk pejabat pemerintah dan pengusaha. Perempuan yang terlibat meminta laki-laki memberi mereka akomodasi dan tunjangan rutin. Dalam tindakannya mereka mungkin memiliki ambisi untuk menjadi istri resmi. Selain itu terdapat juga agen “Selir Perguruan Tinggi” yang dijalankan secara online untuk menawarkan mahasiswi menjadi simpanan.
Kategori kedua, baopo (包婆), yang mana perempuan menemani klien kelas atas untuk jangka waktu tertentu, misal selama perjalanan bisnis. Kemudian mereka menerima pembayaran yang ditetapkan untuk melakukannya. Kategori ketiga, santing (三厅), yang mana perempuan menjajakan diri di karaoke, bar, kedai teh, dan tempat lainnya dengan menerima imbalan dalam bentuk tips dari lelaki yang mereka temani. Terdapat eufemisme untuk perempuan pada kategori ini yaitu sanpei xiaojie (三陪 小姐) yang secara literal berarti "perempuan untuk tiga pendamping". Secara teori tiga pendamping bekerja untuk mengobrol, minum, dan menari dengan tamu mereka. Namun dalam praktiknya, tiga pendamping lebih sering merujuk pada menari, minum bersama, dan diraba.
Kategori keempat, dingdong xiaojie (叮咚 小姐) atau perempuan bel yang modusnya mencari calon pembeli dengan menelepon kamar di hotel tertentu. Kategori kelima, falangmei (发廊妹) atau perempuan salon, bekerja di salon yang menawarkan layanan seksual. Selain salon, juga berkedok panti pijat, pemandian, dan sauna. Kategori keenam, jienü (街女) atau gadis jalanan yang menjajakan diri di jalan; dan kategori ketujuh adalah xiagongpeng (下工棚) yang ditujukan kepada perempuan yang menjual seks ke buruh sementara dari pedesaan.
Pekerja prostitusi ternyata tidak hanya berasal dari dalam negeri saja, melainkan banyak perempuan asing dari negara-negara tetangga terlibat. Perempuan-perempuan tersebut kebanyakan ditawari pekerjaan, namun kemudian dipaksa mereka menjadi WTS. Ini adalah modus klasik untuk menarik para perempuan dari negara-negara tetangga, termasuk para pelarian dari Korea Utara ke Tiongkok yang rentan sebagai korban perdagangan manusia melalui modus tersebut. Ribuan perempuan Korea Utara yang bermigrasi secara ilegal terlibat dalam kegiatan prostitusi yang dilakukan online atau dipaksa menjadi pelayan di klub malam, bar, dan karaoke. Perempuan dari Mongolia maupun Vietnam juga turut meramaikan bisnis gelap dengan alasan mencari penghasilan yang lebih tinggi. Untuk kalangan atas diisi oleh warga negara Jepang, Rusia, dan perempuan dari Eropa Timur. Bahkan beberapa perempuan Jepang yang menjajakan diri di Makau adalah artis film porno.
Meskipun prostitusi ilegal dan tabu dibicarakan namun tidak sulit menemukan unsur prostitusi ini di banyak film dan karya sastra. Film The flower of war (2012) yang diadaptasi dari novel 13 Flowers of Nanjing oleh Geling Yan bercerita tentang sekelompok pelacur berkelas mencari perlindungan di katedral pada saat pendudukan Jepang serta pembantaian di Nanking pada 1937. Pada film Farewell My Concubine (霸王别姬) tahun 1993 diceritakan seorang pemain opera Peking ternama menikahi seorang pelacur papan atas di suatu rumah bordil. Namun saat Revolusi Kebudayaan tiba, di hadapan Pengawal Merah ia mengakui bahwa ia menikahi pelacur dan tidak akan bekerja sebagai seniman. Pengakuan ini dilakukan untuk menghindari hukuman publik jalanan yang banyak terjadi pada masa Revolusi Kebudayaan.
Kegiatan prostitusi yang hadir di tengah suatu masyarakat selalu dinamis mengikuti perkembangan kehidupan sosial yang terus berubah dari waktu ke waktu. Pandangan masyarakat Tiongkok terhadap prostitusi pun telah bergeser karena budaya, ideologi, teknologi, percepatan ekonomi, dan ketidakseimbangan gender. Kehadiran mereka pada zaman kuno pernah diapresiasi, namun pada saat ini keberadaan mereka ini terus diburu, kucing-kucingan dengan penegak hukum. Walaupun demikian setiap individu pada suatu waktu memiliki pandangan tersendiri terhadap salah satu profesi tertua di dunia ini.
#BudayaChina #BudayaTiongkok #ProstitusiChina #ProstitusiTiongkok #SosialMasyarakatChina #SosialMasyarakatTiongkok #MasalahSosialTiongkok