Gegar Budaya Mahasiswa Tiongkok di Lingkungan Universitas Negeri di Indonesia

Mahasiswa jurusan bahasa Indonesia Beijing Foreign Studies University angkatan 2017
A. Kesempatan Kerja dan Peningkatan Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia
Seiring dengan frekuensi kerja sama Indonesia-Tiongkok yang semakin intensif dalam bidang pendidikan, maka semakin meningkat pula jumlah mahasiswa Tiongkok yang belajar ke Indonesia. Ditinjau dari sejarahnya, jurusan S1 Bahasa Indonesia pertama kali di Tiongkok diselenggarakan di Universitas Peking (Beijing) pada tahun 1949. Kemudian pada tahun 1960 Universitas Bahasa-Bahasa Asing Beijing (Beijing Foreign Studies University) yang dikenal sebagai kampus pencetak diplomat mulai mendirikan jurusan S1 Bahasa Indonesia. Pada tahun 1970, Universitas Bahasa-Bahasa Asing Guangdong mulai mendirikan Jurusan S1 Bahasa Indonesia (Kong, 1996). Pada saat itu kebanyakan lulusan bekerja sebagai penerjemah di perusahaan, diplomat, serta dosen ataupun peneliti.
Seiring dengan peningkatan volume industri serta perdagangan Tiongkok-Indonesia, maka kebutuhan tenaga kerja berkualifikasi bahasa Indonesia semakin meningkat. Sampai tahun 2019 terdapat 16 universitas di Tiongkok yang menyelenggarakan program studi bahasa Indonesia. Kebutuhan lulusan jurusan Bahasa Indonesia di pasar kerja saat ini semakin luas. Pada tahun 2017 lulusan Universitas Bahasa-Bahasa Asing Beijing bekerja di sektor pemerintahan maupun swasta. Di sektor pemerintahan, sebagian dari lulusan bekerja di Kementerian Luar Negeri Tiongkok dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tiongkok, selain itu media milik pemerintah seperti China Radio International dan media Xinhua ajek mencari lulusan jurusan bahasa Indonesia.
Beberapa perusahaan swasta semakin banyak diminati oleh mahasiswa karena peluangnya lebih luas serta tertarik gaji yang lebih besar, termasuk sebagai penerjemah dan pekerja perusahaan startup (termasuk fintech dan e-commerce). Namun dari beberapa jenis pekerjaan tersebut, pekerjaan sebagai penerjemah dan startup adalah posisi yang sangat umum dapat ditemukan dan banyak dicari para lulusan. Banyak perusahaan Tiongkok yang melakukan komunikasi, transaksi ataupun bekerja sama dengan perusahaan Indonesia membutuhkan penerjemah, baik penerjemah lisan maupun tulis.
Adapun lapangan pekerjaan bagi orang Tiongkok yang membutuhkan lulusan berkualifikasi bahasa Indonesia dihimpun dari berbagai situs pencari kerja dan informasi para lulusan pada tahun 2019 adalah sebagai berikut.
1. Evaluator konten digital
2. Spesialis operator game
3. Operator telekomunikasi
4. Penerjemah lapangan
5. Peneliti bahasa Indonesia
6. Penjualan dan konsultan
7. Pelabel data
8. Manajemen pembelian
9. Pemandu wisata
10. Penerjemah game
11. Guru atau dosen bahasa Indonesia
Dari sebelas posisi tersebut, beberapa posisi pekerjaan di bidang fintech, e-commerce, dan startup lainnya nampaknya mulai digemari para mahasiswa setelah tahun 2015, bahkan cenderung semakin meningkat di tahun 2019. Selain menawarkan gaji yang tinggi, bekerja di perusahaan startup dianggap lebih santai dan menawarkan pengembangan ide yang lebih tinggi. Pada tahun 2015 terdapat beberapa mahasiswa jurusan bahasa Indonesia yang melaksanakan kerja praktik serta diterima di perusahaan e-commerce ternama seperti Alibaba, Tiktok, Kuaishou, UC Browser, dan berbagai macam startup lainnya. Perusahaan rintisan saat ini telah memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan munculnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligent), data besar (Big Data), Internet of Things (IoT), layanan cloud, teknologi robotik dan sensor, dan printer 3D (Satya, 2018).
Revolusi industri 4.0 berdampak pada berbagai macam aspek kehidupan seperti produksi, energi, pertaninan, makanan, keamanan, pendidikan, lingkungan, mobilitas, sistem keuangan, informasi, hiburan, layanan kesehatan, perdagangan serta investasi internasional, dan konsumsi. Industri 4.0 secara fundamental telah mengubah cara beraktivitas manusia dan memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia kerja. Industri 4.0 membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dalam literasi digital, literasi teknologi, dan literasi manusia (Yahya, 2018). Secara langsung revolusi industri 4.0 ini pun berpengaruh pada kebutuhan SDM multilingual antara Indonesia dan Tiongkok, yakni berbahasa Indonesia dan Mandarin.
Perusahaan fintech, e-commerce, serta startup lainnya di Tiongkok dan Indonesia berkembang sangat pesat dan mendapat respon yang positif, karena kedunya turut saling mempengaruhi, terbukti beberapa investasi yang digelontorkan startup Tiongkok ke Indonesia. Selain itu, beberapa startup Tiongkok mulai mendirikan kantornya di Indonesia, seperti JD dan Tik Tok yang telah membuka cabangnya di Indonesia. Oleh karena itu, lowongan untuk lulusan berkualifikasi bahasa Indonesia semakin tersedia di situs web pencari kerja. Selanjutnya, kecenderungan lulusan berkualifikasi bahasa Indonesia yang bekerja di perusahaan startup atau industri teknologi juga meningkat. Peningkatan ditandai dengan banyaknya mahasiswa yang memulai karirnya dengan magang di perusahaan seperti Tiktok, Kuaishou, Alibaba, UC Browser, Game Online, dll.
Sampai tahun 2019 terdapat 16 universitas di Tiongkok menyelenggarakan program studi bahasa Indonesia pada jenjang S1 maupun D3. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia bagi mahasiswa Tiongkok tentu memiliki hubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan. Mackey dan Mountford (Suyitno, 2014) menjelaskan bahwa ada tiga kebutuhan yang mendorong seseorang belajar bahasa, yakni kebutuhan akan pekerjaan, kebutuhan program latihan kejuruan, dan kebutuhan untuk belajar. Kebutuhan akan pekerjaan adalah tujuan penting dari mahasiswa Tiongkok yang mengambil studi bahasa Indonesia. Alasan belajar bahasa Indonesia bagi mereka adalah karena kebutuhan pasar kerja dengan kualifikasi bahasa Indonesia cukup tersedia, bahkan cenderung meningkat. Fakta ini juga didukung pula dengan berdirinya jurusan bahasa Indonesia di berbagai provinsi di Tiongkok. Seiring dengan peningkatan volume industri serta perdagangan Tiongkok-Indonesia ini, maka kebutuhan tenaga kerja berkualifikasi bahasa Indonesia semakin meningkat. Peningkatan jumlah universitas dan mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia tentu tidak terlepas dari banyaknya perusahaan Tiongkok yang berinvestasi ke Indonesia. Peningkatan investasi Tiongkok ke Indonesia berbanding lurus dengan peningkatan kesempatan kerja. Peningkatan kerja ini tidak hanya bagi orang Tiongkok, melainkan juga untuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Saat ini Tiongkok telah menganggap Indonesia merupakan pasar yang potensial pada berbagai sektor, sehingga sangat cocok untuk memperluas bisnisnya.
B. Mahasiswa Tiongkok Menghadapi Situasi Gegar Budaya
Hubungan kedua negara sangat dinamis dari waktu ke waktu. Ditinjau dari aspek, hubungan kedua negara tidak selalu terjalin mesra karena perbedaan pada aspek budaya maupun politik. Meskipun demikian, tidak mengurangi antusias pelajar Tiongkok menuntut ilmu di Indonesia, khususnya untuk mempelajari bahasa dan budaya. Sebagai orang asing, tidak dapat dihindari mereka akan mengalami fenomena gegar budaya. Berbagai penelitian telah dilakukan terkait fenomena gegar budaya pada mahasiswa asing di berbagai negara. Oleh karena itu, mahasiswa internasional selalu menjadi fokus dari studi Gegar Budaya, mengingat terus meningkatnya internasionalisasi dan globalisasi di sektor pendidikan tinggi (Presbitero, 2016:28).
Pada masa depan dipastikan semakin banyak mahasiswa Tiongkok yang menuntut ilmu di Indonesia, khususnya untuk belajar bahasa dan budayanya pada tingkat S1 sampai S3. Kebanyakan mahasiswa asing yang baru datang ke lingkungan budaya asing tersebut akan mengalami Gegar Budaya. Gegar Budaya terjadi saat seseorang menghadapi keadaan sosial budaya yang berbeda, termasuk mahasiswa asing yang baru menjalani proses pendidikannya. Konsep Gegar Budaya merujuk pada suatu kegelisahan emosional dan intelektual yang terjadi dalam pertemuan dengan pengertian dan praktik yang tidak biasa (Holliday, Hyde, dan Kullman, 2004: 55). Penelitian ini menjelaskan peristiwa Gegar Budaya mahasiswa asing Tiongkok di Indonesia melalui analisis kualitatif serta menggunakan kerangka teori Gegar Budaya. Artikel ini diharapkan mampu membantu memahami tantangan mahasiswa asing Tiongkok dalam menghadapi transisi sosial budaya di lingkungan universitas di Indonesia. Selain itu, artikel ini diharapkan mampu mendorong pihak penyelenggara pengajaran bagi orang asing agar menyesuaikan kebutuhan serta apa yang ideal menurut sudut pandang responden, yakni mahasiswa Tiongkok di Indonesia.Mahasiswa Tiongkok di berbagai universitas tersebut harus mempelajari karakter masyarakat, kebiasaan, serta perilaku setempat. Transisi dari kebiasaan hidup di lingkungan universitas di Tiongkok ke kehidupan universitas di Indonesia dipastikan melalui pengalaman Gegar Budaya yang memaksa responden melalui tahap pembelajaran kembali di lingkungan baru. Transisi ini tentu melibatkan pemelajar dengan lingkungan sosialnya, seperti komunikasi dengan teman, guru, kolega, dan orang-orang yang berada di lingkungannya. Mereka tentu memiliki kebiasaan, norma sosial, kepercayaan, ideologi, tuntutan pribadi, dan kebebasan yang bervariasi.
Saat beradaptasi dengan pengalaman barunya di kampus, responden harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mungkin tidak pernah dijumpai sebelumnya, mengembangkan hubungan baru, dan memperluas pandangan responden dengan mengamati perbedaan dan persamaan. Pengalaman Gegar Budaya adalah pengalaman normal pada mahasiswa yang berproses di lingkungan barunya. Penelitian ini menggunakan teori Gegar Budaya yang pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (1960). Oberg (1960:177) menyatakan bahwa Gegar Budaya dipicu oleh kecemasan yang diakibatkan oleh hilangnya semua tanda dan simbol hubungan sosial yang kita kenal, seperti kebiasaan, gerak tubuh, ekspresi wajah, atau kata-kata. Pedersen (1995:1) mendefinisikan Gegar Budaya sebagai proses penyesuaian awal ke lingkungan asing dan istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan dampak emosional, psikologis, perilaku, kognitif, dan fisiologis dari proses penyesuaian individu. Gegar Budaya merupakan perasaan subyektif dan bergantung pada latar belakang budaya seseorang tersebut berasal.
Perbedaan latar belakang budaya yang semakin mencolok maka Gegar Budaya yang dirasakan akan semakin besar serta beragam. Perbedaan latar belakang budaya tersebut dapat berupa: iklim, makanan, kebiasaan, norma sosial, kepercayaan atau agama masyarakat, teknologi, dan lain sebagainya. Gegar Budaya dapat dialami oleh pendatang, termasuk orang asing yang beraktivitas sebagai pelancong, pekerja, pelajar, bahkan pengungsi. Seseorang mengalami Gegar Budaya ketika dia menyadari bahwa pemecahan masalah dalam budaya baru tidak efektif. Akibatnya kebiasaan yang rutin dilakukan di negara asalnya sulit untuk diaplikasikan pada budaya baru tersebut. Situasi ini menyebabkan disorientasi, stres, ketakutan, dan kecemasan. Meskipun demikian, pengalaman Gegar Budaya dipandang sebagai proses normal adaptasi terhadap budaya baru dengan disertai gejala seperti perasaan tidak nyaman, ketidakberdayaan, mudah tersinggung, dan ketidakcocokan. Oberg (1960) dan Winkelman (1994) mengidentifikasi 4 tahapan Gegar Budaya: (1) tahap bulan madu, yaitu keadaan antusiasme tentang keberadaan di tempat baru; (2) krisis, sebagaimana menyebabkan kejutan budaya; (3) pemulihan, di mana seseorang tersebut telah belajar beradaptasi lebih baik serta memiliki fungsi dalam budaya barunya; (4) penyesuaian, di mana dirinya merasa nyaman dan menjalankan fungsinya dengan baik.
Pada periode akhir dari pengalaman Gegar Budaya, seseorang dapat beradaptasi dan menerima budaya baru dengan percaya diri, secara aktif menangani beberapa masalah, mulai menikmati adat istiadat budaya dan gaya hidup negara tuan rumah (Li dan Jie, 2020:899). Terdapat dua tinjauan pustaka terkait penelitian Gegar Budaya sebelumnya dengan teori serta metode yang serupa. Rafika, D. A., Syahri, I., dan Susanti, R (2018) meneliti Gegar Budaya yang dialami oleh empat TKI yang pernah bekerja di Libanon, Australia, Malaysia, dan Jepang. Dari penelitiannya terdapat sepuluh aspek Gegar Budaya yang dialami oleh keempat TKI tersebut, yaitu: bahasa, lingkungan, teman di pekerjaan, makanan, pakaian, hubungan antara pria-wanita, musim, aturan, masyarakat lokal, dan kebiasaan. Meskipun mengungkap peristiwa Gegar Budaya dalam aspek yang lebih luas, namun penelitian ini dapat mengungkap tantangan para TKI menghadapi lingkungan serta budaya yang berbeda serta bagaimana menyikapinya.
Terkait Gegar Budaya yang berfokus pada aspek pendidikan, Poedjiastutie (2010) meneliti Gegar Budaya yang dialami 10 mahasiswa asing program BIPA yang berkuliah di 3 perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur. Penelitian yang dilakukan dengan metode kuesioner tersebut terungkap bahwa Gegar Budaya yang dialami dapat dikategorikan dalam 2 aspek, yaitu lingkungan akademik dan kehidupan sosial. Dalam lingkungan akademik, peran dan sikap guru, program yang tidak terorganisir, dan sikap siswa setempat membuat responden terkejut. Dalam kehidupan sosial mahasiswa asing mengalami Gegar Budaya terkait konsep hubungan perempuan dan laki-laki, cara berpikir, dan kebiasaan yang berbeda. Pada pengalaman Gegar Budaya tersebut mahasiswa asing mengalami perasaan disorientasi jangka pendek, ketidaknyamanan, kebingungan, kekecewaan, frustasi, hingga terkadang menarik diri dari budaya baru itu sendiri.
Penelitian ini berhasil mengungkap peristiwa Gegar Budaya lewat mahasiswa asing dari latar belakang budaya negara yang berbeda. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini berfokus pada objek penelitian, yaitu mahasiswa Tiongkok sebagaimana memiliki latar belakang budaya Tionghoa dan juga lingkungan pendidikan yang berbeda dengan mayoritas masyarakat di Indonesia. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peristiwa Gegar Budaya dari perilaku orang pada suatu keadaan atau tempat tertentu secara detail dan mendalam berbentuk narasi. Adapun objek penelitiannya adalah 5 mahasiswa Tiongkok di Universitas Bahasa-Bahasa Asing Beijing yang telah memiliki pengalaman belajar di Indonesia selama 6 bulan sampai 1 tahun pada rentang waktu tahun 2018-2020. Kelima mahasiswa tersebut pernah berkuliah di 5 universitas negeri yang berbeda, yaitu: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Wawancara tatap muka mendalam dengan instrumen pertanyaan tertulis digunakan untuk menggali data yang alamiah, detail, dan terperinci. Setiap mahasiswa diminta untuk menjawab pertanyaan serta memberikan penjelasan yang kaya dan rinci tentang perasaan dan pengalamannya sewaktu berkuliah di Indonesia. Peneliti menggali permasalahan yang responden hadapi selama berkuliah di Indonesia. Beberapa pertanyaan yang diajukan adalah terkait: pengalaman pada minggu pertama, pengetahuan tentang sistem pendidikan di Indonesia, konsep kedisiplinan, perbedaan cara belajar dan mengajar, perbedaan cara ujian dan penilaian, konsep kesopanan, cara berteman dan bersosial, perbedaan fasilitas dan pelayanan, dan perbedaan kebiasaan belajar. Penelitian ini merupakan penelitian interpretatif yang bertujuan untuk mencari penjelasan mendalam mengenai keadaan sosial budaya berdasarkan pengalaman serta perspektif orang yang diteliti.
C. Adaptasi dan Bulan Madu
Tiga hari sampai satu minggu pertama di Indonesia responden disibukkan dengan mencari kos atau kontrakan karena kebanyakan universitas tidak menyediakan asrama. Hal ini tentu berbeda dengan di Tiongkok yang mana setiap universitas menyediakan asrama untuk semua mahasiswa. Sebagian dari responden dibantu pihak kampus untuk mencari tempat tinggal, sebagian lagi tidak menerima bantuan dari pihak kampus, sehingga harus mencari sendiri. Responden yang mencari tempat tinggal secara mandiri sangat terbantu dengan aplikasi online. Oleh karena itu, sebelum responden menempati kos atau kontrakan, responden akan tinggal sementara di tempat penginapan yang responden cari secara online. Mencari kos atau kontrakan bagi sebagian mahasiswa tidak terlalu mudah karena berbagai macam keinginan dari setiap mahasiswa. Salah satu yang terpenting adalah ketersediaan air panas. Adalah hal yang aneh bagi responden dan mungkin yang pertama kali ketika responden menemui tempat tinggal tanpa air panas.
Situasi Gegar Budaya selanjutnya ketika responden baru saja datang adalah suara adzan. Awalnya responden merasa terkesan ketika mendengar suara adzan selama 5 kali sehari, namun terkadang responden pun terbangun ketika adzan berkumandang di pagi hari. Sebagian ada yang merasa tidak terbiasa dengan suara di pagi hari yang membuat responden tiba-tiba terbagun. Setelah beberapa waktu responden akan terbiasa mendengar adzan 5 kali sehari.
Pengalaman saat minggu pertama datang tentu tidak terlepas dari cuaca di Indonesia yang dirasa berbeda dari Tiongkok, apalagi yang bagian utara. Bagi mahasiswa yang tinggal di Tiongkok selatan akan merasa cuacanya hampir sama karena cenderung lebih panas. Meskipun cuaca terasa sangat panas, namun responden cukup heran dengan perempuan di Indonesia yang tidak memiliki kebiasaan memakai payung saat panas. Ketika mahasiswa Tiongkok responden memakai payung di terik siang hari pun akan dilihat orang karena terasa agak aneh. Perempuan di Tiongkok sangat mementingkan perlindungan kulit terhadap sinar matahari karena bagi responden kulit putih yang cenderung pucat adalah unsur kecantikan yang paling penting. Selain itu, cuaca di Indonesia terasa lebih lembab dan curah hujan yang tinggi cukup membuat responden tidak nyaman, hal ini dikarenakan udara di Tiongkok utara terasa lebih kering daripada di Indonesia.
Banyaknya nyamuk sering kali dikeluhkan mahasiswa yang baru datang di Indonesia. Sebelum kedatangan, responden tahu bahwa di Indonesia terdapat nyamuk pembawa virus, dan yang paling ditakuti adalah virus demam berdarah. Oleh karena itu responden mempersiapkan diri melindungi diri mereka dari nyamuk. Terkait makanan, responden beranggapan bahwa makanan Indonesia lebih berminyak sehingga mudah menjadi gemuk dalam waktu relatif singkat. Selain itu, tidak sedikit dari mereka mengeluhkan makanan di Indonesia yang kebanyakan digoreng daripada direbus atau tumis seperti di Tiongkok. Selain itu, makanan di Indonesia lebih manis, terutama kebiasaan minuman dingin atau es, serta hampir semuanya ditambahkan gula. Tidak seperti di Indonesia, kebanyakan minuman di Tiongkok disajikan hangat. Orang Tiongkok sangat percaya pada konsep kesehatan yang mana minuman hangat lebih sehat daripada minuman dingin.
Terkait masakan, responden beranggapan tidak banyak sayuran pada masakan-masakan Indonesia. Pada kebiasaan lain orang Tiongkok saat makan di restoran, responden tidak memesan minuman melainkan sup sebagai hidangan penutup yang sudah dianggap cukup bagi responden daripada minum minuman lainnya. Pada saat makan responden pun pasti menjumpai aneka sambal yang tidak sering responden lihat di negara asalnya. Meskipun di Tiongkok terdapat daaerah-daerah yang masakannya kebanyakan pedas seperti di Provinsi Sichuan ataupun Hunan, namun selera pedas orang Indonesia tetap dianggap khas, khususnya dengan aneka sambal dan rasa pedas yang belum responden jumpai sebelumnya. Meskipun terdapat perbedaan rasa pedas di Indonesia dan di Tiongkok, namun beberapa dari responden akhirnya terbiasa dengan selera pedas orang Indonesia. Oleh karena itu, terkait masakan, orang Tiongkok akan mengalami Gegar Budaya pada rasa manis, pedas, gorengan, dan minuman dingin.
Mencari transportasi umum sering kali menjadi kendala bagi responden yang terbiasa menggunakan bus ataupun kereta bawah tanah (subway). Bagi responden yang berkuliah di Jogja misalnya, sangat sulit untuk mendapatkan akses transportasi tersebut. Banyak dari responden yang terpaksa berjalan kaki dan naik sepeda. Dengan tersedianya transportasi online seperti ojek dan taksi online, kini responden tidak perlu khawatir dengan permasalahan transportasi. Hanya saja kesulitan transportasi umum seperti bus masih menjadi hambatan. Ojek online merupakan pengalaman unik yang pertama kali responden rasakan karena saat ini ojek online belum tersedia di Tiongkok. Sebagian besar dari responden merespon positif dengan model transportasi ini, sehingga ada yang terus-menerus menggunakannya untuk berangkat serta pulang kampus.
Pengalaman berada di Indonesia selama bulan pertama tidak melulu merasakan situasi Gegar Budaya. Masa “bulan madu” karena ketertarikan dan rasa gembira terhadap situasi di Indonesia juga responden rasakan secara bersamaan. Lingkungan sosial yang ramah membuat responden nyaman berkomunikasi dan mempermudah menyiapkan banyak hal untuk menjalani hari-hari berikutnya. Keramahan pelayan swalayan, pelayan restoran, dan bank membuat responden merasa terkesan serta betah. Keramahan pelayanan tidak sering dijumpai di Tiongkok. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tekanan sosial dan stres di Tiongkok sangat tinggi.
Cuaca di Indonesia yang cerah juga membuat responden merasakan kenyamanan pada masa bulan madu ini. Tidak seperti di Tiongkok yang memiliki empat musim, khususnya di sebelah utara dengan musim dingin yang panjang, Indonesia memiliki cuaca cenderung cerah dan suhu stabil sepanjang tahun. Selain itu, Indonesia selalu memiliki udara yang segar dibandingkan di berbagai kota besar Tiongkok yang sering kali tercampur polusi, sehingga harus memakai masker setiap keluar ruangan. Faktor cuaca dan kualitas udara inilah yang membuat responden merasakan pengalaman bulan madu yang berkesan. Hanya terik matahari lah yang terkadang membuat responden malas keluar. Karena terlalu panas, responden sering kali mengeluhkan sering berkeringat sehingga tidak merasa nyaman berada di luar.
Biaya hidup yang rendah dibandingkan di Tiongkok juga menjadi salah satu faktor responden merasakan bulan madu pada minggu pertama. Biaya hidup tersebut dapat diuraikan dari makan sehari-hari, tempat tinggal, dan hiburan. Oleh karena itu, responden sangat menikmati situasi ini dengan makan, berbelanja, dan berpariwisata sesuka hati. Banyak di antara responden sangat menikmati masa bulan madu ini dengan mencicipi berbagai macam kuliner khas, berbelanja di mal, dan menjelajahi tempat-tempat wisata, baik di Pulau Jawa maupun pulau-pulau lainnya.
Bulan pertama di Indonesia responden lalui dengan merasakan dua hal yang bertolak belakang, yaitu perasaan Gegar Budaya terhadap lingkungan dan perasaan kegembiraan atau yang dikenal dengan masa bulan madu. Segala hal yang bertolak belakang dengan kebiasaan, adat, dan budaya akan menimbulkan kebingungan, kecemasan, bahkan stress. Namun hal-hal yang menyenangkan bagi responden akan membuat responden lebih bersemangat untuk melanjutkan hari-hari berikutnya selama hidup di Indonesia.
D. Tidak Melulu Berorientasi Ujian
Sebagian besar dari mahasiswa Tiongkok tidak memiliki bayangan atau pengetahuan sebelumnya tentang pendidikan di Indonesia. Responden mengira bahwa pembelajaran dan pengajaran yang akan responden alami kurang lebih sama dengan di Tiongkok. Ciri khas pembelajaran di Tiongkok lebih disiplin, ketat, dan kompetitif. Model pendidikan tersebut dimulai semenjak SD sampai Perguruan Tinggi. Hampir semua anak di Tiongkok merasakan kompetisi ini sebagaimana tercermin pada pendidikannya yang berorientasi ujian.
Bagi masyarakat Tiongkok keberadaan sistem pendidikan berorientasi ujian bukanlah hal baru. Sistem tersebut telah berakar dari sejarah Tiongkok yang panjang. Pada dinasti Sui (581-618 M), Kaisar Suiyang mengajukan inisiatif sistem ujian kenegaraan, tetapi belum terbentuk matang sampai dinasti Tang (618-907 M). Sistem ujian kenegaraan tersebut dipertahankan sampai sekarang, tidak pernah dihilangkan begitu saja dari sistem pendidikan Tiongkok. Kini ujian yang paling bergengsi bagi responden adalah Gao Kao (ujian masuk perguruan tinggi) dan ujian masuk PNS. Selain dua ujian besar tersebut, masih ada berbagai ujian dalam proses pendidikannya. Sistem ujian dianggap dapat menilai kemampuan seorang secara lebih objektif dan adil agar setiap orang bisa memperoleh peluang untuk membuktikan dirinya.
Sistem ujian tersebut lah yang memberi kesempatan kepada responden para pelajar berkompetisi dalam ujian yang adil, tanpa adanya KKN oleh para pejabat. Sistem ujian tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang, tidak dihilangkan begitu saja dari sistem pendidikan Tiongkok. Selain dua ujian besar tersebut, masih ada ratusan ujian kecil dalam proses belajar sehari-hari. Sistem ujian dianggap dapat menilai kemampuan seorang secara lebih objektif dan adil agar setiap orang bisa memperoleh peluang untuk membuktikan dirinya, tetapi sistem ini pun mendatangkan dampak negatif yang seringkali disorot oleh masyarakat dan berbagai media.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa para siswa tidak bisa mengembangkan kreativitas karena pelajaran atau mata kuliah eksakta cenderung lebih diperhatikan daripada ilmu sosial dan seni. Banyak yang percaya bahwa pelajaran tersebut tidak begitu memengaruhi siswa untuk naik kelas atau masuk universitas yang terkenal. Sementara kebanyakan guru hanya mengajar yang tertulis dalam kurikulum dan berkaitan dengan ujian, maka kemampuan belajar dan berpikir para siswa dalam berpikir kritis serta analitis tidak berkembang. Selain itu juga siswa sering kali kehilangan minatnya untuk menjelajahi ilmu-ilmu lain karena responden menerima materi yang tetap dari tahun ke tahun serta mempelajari jawaban atas pertanyaan yang standar. Lama-kelamaan responden terlihat seperti mesin belajar otomatis sementara menunggu guru yang mengetahui semua ilmu menyuapi dan memberikan perintah. Dengan demikian setiap orang menjadi terlihat memiliki kemampuan yang sama. Responden pun merasa takut untuk mengambil resiko untuk mengubah keadaan atau berpikir out of the box. Responden cenderung memilih jalan aman meskipun harus bersaing dengan super ketat. Pendidikan seperti inilah yang responden rasakan dari SD sampai perguruan tinggi.
Di perguruan tinggi, mahasiswa di Tiongkok mendapatkan banyak mata kuliah di setiap harinya. Seorang mahasiswa Tiongkok bahkan bisa mengambil 13 sampai 17 mata kuliah pada satu semester. Oleh karena itu, responden terbiasa berkuliah dari pukul 8 pagi sampai 9 malam setiap harinya. Pada awalnya responden heran karena jumlah mata kuliah di Indonesia lebih sedikit. Meskipun demikian responden merespon dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa kecewa namun ada pula yang lebih menyukai mata kuliah sedikit karena lebih santai.
Sebagian dari responden membayangkan bahwa pendidikan di Indonesia akan sama dengan model Tiongkok, namun kenyataannya berbeda 180 derajat. Gaya pengajaran dan belajar yang responden rasakan di Indonesia lebih bebas, tidak terlalu kompetitif, lebih aktif, dan kreatif. Sebagian dari responden mengira bahwa akan berkuliah bersama mahasiswa lokal, namun kenyataannya responden dipisah. Untuk masuk ke kelas orang lokal tidaklah mudah dilakukan karena responden berada pada program yang berbeda. Namun, sebagian dapat memilih mata kuliah bersama orang Indonesia. Oleh karena itu responden merasa kecewa karena responden ingin belajar materi yang sama dengan yang diajarkan pada orang Indonesia.
Model pembelajaran yang responden rasakan tidak melulu berorientasi ujian. Ujian akhir semester sering kali dilakukan dengan menulis makalah atau penelitian singkat. Oleh karena itu, responden merasakan sistem pendidikan di Indonesia tidaklah begitu seketat yang responden rasakan di Tiongkok. Kompetisi antar mahasiswa juga tidak responden rasakan. Terkadang responden juga tidak mengerti dengan jelas bagaimana sistem penilaian yang diberikan oleh dosen di Indonesia.
E. Perbedaan Sikap Kedisiplinan
Salah satu Gegar Budaya yang menyolok dialami oleh mahasiswa Tiongkok di Indonesia adalah terkait kedisplinan. Semua responden mengalami dan mengamati kedisiplinan yang berbeda di lingkungan kampus. Bisa dikatakan ada banyak mahasiswa serta dosen yang mengabaikan aspek kedisiplinan. Bagi orang Tiongkok kedisiplinan di dunia pendidikan serta dunia kerja adalah hal yang sangat penting. Namun sebaliknya, para responden melihat dari total perkuliahan, sekitar 50 sampai 90 persen dosen tidak tepat waktu masuk kelas. Dosen terlambat dari 10 menit sampai 1 jam adalah situasi yang pernah responden rasakan. Dosen terlambat dengan berbagai alasan yang tidak pasti. Bahkan pernah terjadi dosen terlambat 50 persen dari seluruh pertemuan satu semester. Selain terlambat, pertemuan tanpa dosen atau kelas kosong juga dialami semua responden. Apapun faktor atau penyebabnya, keterlambatan di Indonesia terasa wajar.
Ada responden yang sudah bangun pagi-pagi untuk menyiapkan kuliah namun kuliah tersebut sering kali kosong karena dosennya tidak bisa bangun pagi-pagi untuk ke kampus. Kemudian dosen tersebut sering kali hanya memberikan tugas. Setelah kuliah lebih satu jam menunggu lalu responden memutuskan untuk pulang tanpa mempelajari apapun di jam kuliah yang sudah dijadwalkan. Perasaan responden ketika kuliah kosong ataupun dosen terlambat sangat kecewa. Responden yang datang tepat waktu mengharapkan pengajaran yang sesuai jadwal. Keterlambatan dan ketidakhadiran dosen di Tiongkok memang sangat jarang terjadi. Namun di Indonesia, hal yang responden saksikan dan rasakan justru sebaliknya. Banyak mahasiswa Indonesia senang melihat situasi kelas kosong. Mengapa banyak dosen yang terlambat bahkan rela mengosongkan kelasnya? tanya seorang mahasiswa Tiongkok. Hal ini tentu menimbulkan keheranan, karena mendapat pengajaran yang adalah hak bagi seorang siswa. Oleh karena itu kita pun harus mempertanyakan hal sama tentang tanggung jawab seorang pengajar. Apakah pantas untuk sengaja terlambat atau mengosongkan perkuliahan dan tidak pernah memperbaiki hal ini. Kedisiplinan yang berbeda membuat responden benar-benar mengalami Gegar Budaya. Kebanyakan dari responden merespon dengan kekecewaan dan sedikit yang merespon dengan kegembiraan. Responden tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kebiasaan tersebut.
F. Pembelajaran Kurang Sistematis
Responden merasakan bahwa struktur pengajaran di Tiongkok lebih sistematis, khsusunya tercermin pada perencanaan, silabus, dan cara untuk menilai pada pekerjaan rumah, tugas, dan ujiannya. Namun di Indonesia responden merasakan sistem pengajarannya lebih santai dan terasa lebih bebas. Sebagian dari responden mengungkapkan bahwa ada dosen tidak memiliki silabus atau perencanaan perkuliahan yang jelas, sehingga mahasiswa tidak memiliki gambaran yang jelas terkait materi yang akan diberikan. Terikait dengan sistem penilaian, sebagian beranggapan bahwa cara untuk menilai di Indonesia kurang jelas karena unsur-unsur penilaian yang tidak dijabarkan. Selain itu, ada yang mengalami materi ujian yang diberikan jauh berbeda dengan materi perkuliahan yang diterima. Bagi responden hal ini tentu cukup aneh karena seharusnya materi perkuliahan yang diterima seharusnya juga akan dijadikan sebagai bahan ujian. Hal ini dikarenakan materi yang diberikan selama proses perkuliahan akan selalu muncul dalam ujian akhir, sehingga materi ujian tidak melenceng terlalu jauh.
Di kebanyakan kelas di Tiongkok mahasiswa tidak banyak aktif berbicara, melainkan dosennya yang lebih aktif berbicara. Dosen seolah-olah menjadi sumber primer dalam perkuliahan. Mahasiswa hanya aktif mendengarkan dan mencatat dari mulai kuliah sampai selesai. Namun responden melihat keadaan yang berbeda di Indonesia. Mahasiswa Indonesia ternyata cukup bebas berbicara langsung kepada dosen saat perkuliahan. Responden melihat mahasiswa juga sangat aktif bertanya serta berdiskusi, bahkan sampai menguras waktu perkuliahan. Hal ini tidak banyak responden jumpai pada perkuliahan di Tiongkok. Selain itu, kebanyakan kuliah di Tiongkok dilaksanakan di dalam kelas, namun di Indonesia ada banyak kesempatan untuk belajar luar kelas, misalnya dosen memberikan tugas wawancara, mengunjungi tempat pariwisata atau budaya. Responden berpendapat mungkin dosen ingin mahasiswanya lebih mengenal budaya dan mengamati masalah yang sesungguhnya.
Bagi para responden kegiatan pembelajaran di luar kelas memberikan inspirasi serta pengalaman baru. Responden menikmati kegiatan tersebut dan mendapatkan manfaat yang lebih banyak daripada hanya belajar di dalam kelas, khusunya bagi mahasiswa yang belajar bahasa, karena dapat langsung mengamati dan praktik di lapangan. Pembelajaran bahasa memang seharusnya tidak hanya dilakukan di dalam kelas, namun sebaiknya juga dilakukan langsung di tengah masyarakat. Bagi pengajar dan pembelajar bahasa Indonesia, salah satu metode yang baik untuk membuat responden terbiasa adalah membiasakan diri pada situasi yang sesungguhnya.
Pada kegiatan di kelas, para responden melihat mahasiswa aktif berdiskusi dan presentasi. Namun responden merasakan bahwa kegiatan presentasi memakan banyak waktu perkuliahan sehingga terkesan kurang efektif. Dengan kata lain, responden ingin mendapatkan lebih banyak materi yang disampaikan oleh dosennya daripada materi yang dibagikan oleh teman-temannya dalam suatu presentasi. Pada situasi lain, kegiatan berdiskusi terkadang tidak terfokus pada permasalahan atau materi yang seharusnya dibahas. Walaupun terkesan tidak fokus pada materi yang telah direncanakan, namun secara umum responden menganggap mahasiswa Indonesia lebih punya kesempatan mengekspresikan diri lewat berdiskusi dan menyampaikan pendapat daripada mahasiswa di Tiongkok yang mana dosen lebih dominan di kegiatan perkuliahan. Hal ini disebabkan karena fokus yang berbeda. Dosen di Tiongkok memiliki beban yang lebih mengutamakan hasil akhir dari uas setiap mahasiswa. Dengan kata lain, dosen harus memastikan mahasiswanya menguasai materi yang diberikan. Penguasaan materi ini tercermin pada hasil UAS. Sebaliknya, responden merasakan bahwa dosen di Indonesia tidak memiliki banyak beban terkait hasil UAS mahasiswa, apalagi penguasaan materi yang disampaikan.
Membandingkan tugas kuliah antara kedua negara, tentu tugas kuliah di Tiongkok lebih banyak, karena pada hampir semua mata kuliah dan hampir setiap pertemuan dosen memberikan tugas. Sedangkan di Indonesia responden melihat beberapa pertemuan satu tugas, bahkan ada juga yang tidak memberikan tugas sama sekali. Meskipun demikian, tugas kuliah di Indonesia lebih beraneka ragam bentuknya. Dosen di Indonesia suka meminta responden membuat video lalu mengunggahnya ke Youtube dan hasil kuliah tergantung berapa orang melihat video itu. Ketika sampai pada ujian akhir semester ada 4 macam cara pengujian: tertulis, membuat video, makalah, dan presentasi. Cara UAS di Indonesia lebih bervariasi daripada di Tiongkok yang kebanyakan adalah tertulis. Penulisan makalah sebagai UAS pun tidak sering dipraktikkan. Hal ini disebabkan karena dosen di Tiongkok lebih fokus kepada penguasaan materi yang diberikan.
Terkait pengucapan ataupun aksen bahasa Indonesia oleh dosen sewaktu mengajar, kebanyakan dapat dimengerti. Responden beranggapan para dosen berbicara dengan bahasa Indonesia yang standar dan formal. Namun ada beberapa yang mengalami kesulitan karena aksennya yang berbeda. Responden mengungkapkan juga karena mungkin umurnya yang sudah lanjut. Responden merasakan suaranya berat sehingga sulit dipahami. Beberapa dari responden memang terbiasa mendengarkan logat orang Jawa karena semua universitas dan sebagian besar dosennya berasal dari Jawa. Oleh karena itu, begitu responden mendengarkan seseorang dengan logat daerah lain lebih sulit memahaminya. Di dalam kampus responden tidak begitu merasakan logat ataupun aksen yang sulit dimengerti. Namun di luar kampus responden akan merasakan perbedaan yang membuat sulit dimengerti. Responden ternyata tidak hanya merasakan ketidakjelasan pengucapan, namun juga banyak perkataan yang dicampur bahasa daerah, misalnya orang Jawa yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa.
G. Sopan Itu Subjektif
Pada aspek kesopanan berpakaian beberapa universitas memiliki aturan yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa kesopanan berpakaian di kampus di Indoensia adalah mengenakan pakaian berkerah, tidak mengenakan sandal jepit, mengenakan rok di bawah lutut, dan sebagainya. Responden merasa aturan tersebut memang memperhatikan konsep kesopanan yang sesuai dengan budaya orang Indonesia, namun responden juga menyadari bahwa aturan ini tidak bersifat mengikat bagi mahasiswa asing. Sering kali responden mengenakan kaos oblong pun tidak masalah. Berbeda dengan Tiongkok, universitas tidak begitu mengatur berpakaian di lingkungan universitas. Pada musim panas kebanyakan mahasiswa laki-laki maupun perempuan mengenakan kaos dan celana pendek.
Kesopanan pada aspek lain telah diamati oleh para responden dari sisi pertemanan di lingkungan universitas. Responden merasa orang Indonesia sangat tertarik mengajak berkomunikasi dengan orang asing. Mahasiswa Indonesia sangat berminat mengajak berkenalan, mengobrol, mengajak nongkrong, apalagi dengan orang asing yang bisa bicara bahasa Indonesia. Namun konsep kesopanan kedua negara dalam pertemanan tentu berbeda. Sering kali responden merasa agak aneh ketika ada orang yang belum pernah ditemui langsung menambahkan pertemanan pada aplikasi chat. Responden hanya beranggapan bahwa orang Indonesia sangat ramah dan suka berteman, bahkan sampai langsung menyapa lewat aplikasi tanpa terlebih dahulu berkenalan. Memang responden merasakan mencari teman di Indonesia sangatlah mudah, apalagi jika responden aktif bergaul maka otomatis akan lebih punya banyak teman daripada yang tidak banyak bergaul. Secara umum tidak ada perbedaan besar terkait pertemanan, namun responden merasa lebih cepat punya teman di Indonesia daripada Tiongkok karena orang Indonesia tahu nama dan baru sebentar bertemu dapat berarti sudah menjalin pertemanan. Hal ini sedikit berbeda dengan di Tiongkok yang mana harus membutuhkan lebih banyak waktu dan pengalaman bersama untuk kemudian bisa dianggap teman.
Responden merasakan pertemanan di Indonesia lebih banyak dihabiskan untuk berkumpul, bermain, ngobrol, dan mencoba bermacam-macam makanan di berbagai tempat makan. Responden merasa pertemanan di Indonesia banyak dilakukan dengan cara bersosialisasi daripada kegiatan belajar. Sedangkan di Tiongkok kegiatan belajar individual lebih banyak dilakukan daripada bersosialisasi bersama teman. Selain daripada pertemanan antar mahasiswa, hubungan antar mahasiswa dan dosen juga menyita perhatian. Responden beranggapan dosen di Indonesia lebih ramah dan dekat dengan mahasiswa, misalnya mengajak mahasiswa makan bersama bahkan bercanda bersama. Namun di Tiongkok jarang terjadi, karena dekat dengan dosen sangat sulit untuk dilakukan karena dalam beberapa situasi dosen di Tiongkok sangat dihormati bahkan ditakuti.
H. Perbedaan Sikap Belajar
Perbedaan kebiasaan belajar mahasiswa kedua negara juga responden rasakan, khususnya orang Tiongkok yang belajar sangat keras karena banyaknya mata kuliah. Mencari tempat belajar di universitas di Tiongkok pun tidak mudah karena perpustakaan selalu penuh. Sebelum perpustakaan dibuka, yaitu jam 8 pagi, banyak mahasiswa yang sudah antri mengular di depan pintu perpustakaan. Responden mengamati tren mahasiswa Indonesia yang mengerjakan tugas di kafe, karena terasa lebih bebas, santai, dan sampai malam. Hal ini berlainan dengan mahasiswa Tiongkok yang masih lebih terbiasa belajar di perpustakaan.
Hal sederhana seperti bagaimana respon mahasiswa terhadap PR juga cukup menarik untuk diamati. Responden melihat mahasiswa Indonesia yang tidak merasa terlalu ingin cepat menyelesaikan PR, sedangkan mahasiswa Tiongkok ingin lebih cepat menyelesaikan PRnya, bahkan begitu PR diberikan responden akan mengerjakannya setelah selesai kuliah. Kebiasaan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak SD yang mana setiap hari responden akan disibukkan untuk menyelesaikan PR. Menurut pandangan responden mahasiswa di Tiongkok terlihat lebih rajin dan teratur untuk menyelesaikan tugas dosen daripada mahasiswa Indonesia. Responden beranggapan mahasiswa Indonesia memiliki banyak waktu luang di malam hari untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bermain bersama. Bahkan, walaupun responden memiliki beban tugas, demi pertemanan responden akan mengorbankan waktunya untuk bermain terlebih dahulu.
Perbedaan terkait cara belajar juga bisa dilihat dari kebiasaannya. Ketika kuliah di Tiongkok responden lebih banyak mencatat, sedangkan di Indonesia lebih banyak mendengar. Responden merasa di antara mahasiswa di Indonesia tidak ada budaya persaingan atau kompetisi dan tidak ada beban dari keluarga. Responden beranggapan bahwa dari keluarga Indonesia tidak menuntut banyak dari anaknya untuk berprestasi dibandingkan keluarga di Tiongkok yang selalu menuntut nilai tinggi. Banyak orang tua di Tiongkok akan berusaha dan berkorban agar anaknya menjadi yang terbaik di kelasnya. Hal lain justru responden lihat di Indonesia yang mana meskipun tidak memiliki beban kompetisi, mahasiswa Indonesia justru terlihat kreatif, santai, serta terlihat punya banyak kegiatan. Responden bisa mengembangkan kesenangan responden di luar kampus lebih banyak daripada hanya belajar di dalam kelas.
Secara umum responden merasa sangat nyaman dan menikmati proses perkuliahan di Indonesia karena kuliahnya sedikit, dosennya ramah dan sabar, mudah mendapatkan teman, orang Indonesia yang suka bercanda, dan saling membantu. Karena cenderung lebih santai daripada di Tiongkok responden tidak memiliki beban terkait nilai dan kompetisi. Responden tidak mendapatkan banyak tugas serta pada malam hari sama sekali tidak ada perkuliahan. Bagi responden kuliah yang tidak terlalu sibuk justru memberikan kesempatan untuk berinteraksi serta belajar di luar kampus. Responden berpikir hasil kuliah lebih banyak tergantung pada proses, tidak hanya tergantung pada ujian sebagaimana banyak diaplikasikan di Tiongkok. Bagi responden memang terdapat perbedaan cara pandang tentang kualitas. Di Tiongkok banyak tugas kuliah diberikan dan responden merasa hasilnya juga lebih berkualitas. Lingkungan pertemanan bagi responden membuat belajar di universitas lebih nyaman, bukan hanya fasilitas semata. Sebaliknya, meskipun di Tiongkok fasilitas di kampus lebih lengkap dan canggih namun perteman tidak seluas di Indonesia karena budaya kompetisi sangat ketat.
I. Kesimpulan
Melalui wawancara mendalam terhadap pengalaman mahasiswa Tiongkok yang berkuliah di 5 Universitas Negeri di Indonesia dapat disimpulkan beberapa peristiwa Gegar Budaya di lingkungan universitas.
Responden merasakan pembelajaran yang lebih santai, tidak banyak mata kuliah dan tugas;
Responden merasakan pendidikan di Indonesia tidak melulu berorientasi ujian untuk menentukan kualitas seperti di Tiongkok, melainkan lebih pada proses dan penugasan serta aktivitas yang beragam di luar kelas;
Responden mengamati bahwa dosen serta mahasiswa sering kali tidak tepat waktu datang ke kelas dan sering kali mengosongkan kuliah yang mana hal ini tidak berterima di dunia pendidikan Tiongkok;
Responden merasakan tidak adanya iklim kompetitif antar mahasiswa;
Tata cara berpakaian di lingkungan kampus sangat ditekankan karena konsep kesopanan serta budaya, sedangkan di Tiongkok tidak ada pembatasan yang diterapkan dengan ketat;
Pertemanan di lingkungan universitas lebih mudah dilakukan dan sering kali mahasiswa Indonesia membantu setiap kesulitan dengan senang hati;
Hubungan mahasiswa dengan dosen di Indonesia terasa lebih dekat daripada di Tiongkok;
Mahasiswa di Indonesia tidak terlalu sering ke perpustakaan, sedangkan mahasiswa Tiongkok sering kali kesulitan mendapat kursi di perpustakaan karena selalu penuh;
Responden merasa walaupun pembelajarannya lebih santai, mahasiswa Indonesia justru kreatif dan memiliki waktu untuk melakukan hobi-hobinya. Responden bisa mengembangkan hobinyadi luar kampus lebih banyak daripada hanya belajar di dalam kelas; dan
Responden merasa lingkungan pertemanan bagi responden membuat belajar di universitas lebih nyaman, bukan hanya fasilitas semata.
Pengalaman terkait Gegar Budaya tersebut dapatlah menjadi masukan bagi dunia pendikan di Indonesia khususnya di lingkungan universitas agar dapat melihat apa yang dirasakan oleh mahasiswa asing dari Tiongkok. Dengan melihat apa yang responden rasakan maka peraturan terkait kedisiplinan bisa lebih diperketat. Perkuliahan yang kurang sistematis dapat ditingkatkan sehingga memiliki hasil serta tujuan yang jelas bagi mahasiswa asing. Oleh karena itu, dengan memperbaiki dan meningkatkan proses pendidikan dari pengalaman Gegar Budaya maka paling tidak kita dapat menyesuaikan bahkan bersaing pada level yang sama dengan dunia pendidikan di Tiongkok.
Daftar Referensi
Holliday, A., M. Hyde, dan, J. Kullman. 2004. Intercultural communication: An advanced resource book.Routledge. London
Kong, YZ. 1996. Pengajaran Bahasa Indonesia di Cina dan Latar Belakang Budayanya. Kumpulan Makalah Kongres Internasional BIPA. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok.
Li S. dan Jie C. 2020. Research on Culture Shock of International Chinese Students from Nanjing Forest Police College. Theory and Practice in Language Studies, Vol. 10, No. 8, pp. 898-904.
Moleong, L.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Oberg, K. 1960. Culture shock: Adjustments to new cultural environments. Practical Anthropology 4: 177-182.
Pedersen, P. 1995. The five stages of culture shock: Critical incidents around the world. Greenwood Press. Westport, Connecticut.
Poedjiastutie, D. 2010. Culture Shock Experienced by Foreign Students Studying at Indonesian Universities.TEFLIN Journal: A publication on the teaching and learning of English 20(1) : 25-36. DOI: http://dx.doi.org/10.15639/teflinjournal.v20i1/25-36.
Presbitero, A. 2016. Culture shock and reverse culture shock: The moderating role of cultural intelligence in international students' adaptation. International Journal of Intercultural Relations 53: 28–38.
Rafika, D. A., I. Syahri, dan R. Susanti. 2018. Culture Shock Experienced by Foreign Workers. Archives of Business Research 6 (4): 115-129. DOI: 10.14738/abr.64.4331.
Satya, V.E. 2018. Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0. Info Singkat X(09).
Suyitno, I. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) Berdasarkan Hasil Analisis Kebutuhan Belajar. Jurnal Wacana 9(1).
Winkelman, M. 1994. Cultural Shock and Adaptation. Journal of Counseling and Development: 121-126.
Yahya, M. 2018. Era Industri 4.0: Tantangan dan Peluang Perkembangan Pendidikan Kejuruan Indonesia. Makalah Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Profesor. Universitas Negeri Makassar.